Sri Mulyani tegaskan larangan menghalangi DJP akses informasi keuangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan aturan baru yang melarang setiap orang bersekongkol menutup akses bagi Direktorat Jenderal Pajak atau DJP untuk memperoleh informasi keuangan demi kepentingan perpajakan.
Aturan itu Sri Mulyani tetapkan dalam dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas PMK No. 70/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Pasal 30A PMK 47/2024 itu menetapkan setiap orang dilarang melakukan kesepakatan dan/atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban pemberian akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Setiap orang itu termasuk lembaga jasa keuangan (LJK), LJK Lainnya; Entitas Lain; pimpinan dan/atau pegawai LJK; pimpinan dan/atau pegawai LJK Lainnya; pimpinan dan/atau pegawai Entitas Lain; Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi; Pemegang Rekening Keuangan Entitas; penyedia jasa; perantara; dan/atau pihak lain.
“Dilarang melakukan kesepakatan dan/atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,” dikutip dari PMK 47/2024, Jumat (9/8/2024).
Selain itu, Sri Mulyani juga melarang setiap orang membuat pernyataan palsu atau menyembunyikan atau mengurangkan informasi yang sebenarnya dari informasi yang wajib disampaikan terkait informasi keuangan.
Jika terjadi kesepakatan dan atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban pemberian akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, maka akan berlaku dua ketentuan khusus.
“Pernyataan palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa pernyataan yang tidak benar atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,” sebagaimana tertera pada ayat 5 Pasal 30A PMK tersebut.
Ketentuan pertama yang berlaku ialah kesepakatan dan atau praktik tersebut dianggap tidak berlaku dan tidak terjadi. Kedua, kewajiban untuk memberikan akses itu harus tetap dipenuhi oleh setiap orang yang melakukan praktik persekongkolan tersebut.
Sri Mulyani pun memberikan wewenang bagi Ditjen Pajak untuk menentukan kesepakatan dan/atau praktik sebagai suatu kesepakatan dan/atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban pemberian akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Ditjen Pajak juga ia beri kewenangan untuk memperoleh informasi keuangan, termasuk keterangan dan/atau informasi lainnya, yang berkaitan dengan kesepakatan dan/atau praktik persekongkolan penghindaran pemberian akses informasi keuangan itu.
Bila ada indikasi pelanggaran atas larangan-larangan itu, Direktorat Jenderal diberikan wewenang untuk meminta klarifikasi kepada setiap orang yang terkait. Selain itu, teguran tertulis juga akan disampaikan bila sampai batas waktu 14 hari kalender permintaan klarifikasi tidak diberikan orang yang terkait.
Setelah diberikan permintaan klarifikasi namun orang-orang terkait itu belum juga memenuhi kewajiban dan atau tetap melakukan kegiatan yang memenuhi indikasi pelanggaran, DJP akan melakukan pemeriksaan.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan ditemukan dugaan tindak pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan bukti permulaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
“Pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) dapat dilanjutkan dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” tulis ketentuan PMK itu.
Baca juga : Coretax Ditjen Pajak DJP, Pengembalian Lebih Bayar Pajak Langsung oleh Sistem