Bimo ditunjuk menjadi calon Dirjen Pajak setelah bertemu dengan Presiden Prabowo di Istana Merdeka pada 20 Mei 2025.

Presiden Prabowo Subianto menunjuk Bimo Wijayanto sebagai calon Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak), menggantikan Suryo Utomo. Penunjukan ini terjadi setelah Bimo bertemu dengan Prabowo di Istana Merdeka pada 20 Mei 2025.
Bimo menyatakan telah menerima mandat tersebut dan kini menunggu arahan resmi dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
“Saya diberikan mandat, nanti sesuai dengan arahan Menteri Keuangan akan bergabung dengan Kementerian Keuangan,” kata Bimo saat memberikan keterangan di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (20/5).
Saat bertemu Prabowo, Bimo mengaku mendapat arahan soal komitmen pemerintah untuk memperbaiki sistem perpajakan Indonesia.
“Supaya lebih akuntabel, berintegritas, lebih independen untuk mengamankan program-program nasional beliau, khususnya dari sisi penerimaan negara,” kata Bimo.
Profil Bimo Wijayanto
Bimo Wijayanto bukan nama baru di pemerintahan. Alumni SMA Taruna Nusantara ini memiliki rekam jejak panjang di bidang keuangan dan investasi.
Sebelum penunjukan ini, Bimo menjabat sebagai Asisten Deputi Investasi Strategis di Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves). Dia juga pernah menjadi Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden (KSP) pada era Presiden Joko Widodo.
Bimo Wijayanto lahir di Bajawa, Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 5 Juli 1977. Dia menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Taruna Nusantara pada tahun 1995.
Pendidikan sarjana (S1) ditempuhnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dengan mengambil jurusan Akuntansi dan lulus pada tahun 2000.
Tidak berhenti di situ, Bimo melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pada tahun 2005, dia meraih gelar MBA dari University of Queensland, Australia. Kemudian, pada tahun 2015, Bimo berhasil meraih gelar Ph.D. di bidang ekonomi dari University of Canberra, Australia.
Disertasinya membahas tentang simulasi mikro Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh) di Indonesia. Penelitian ini mendapatkan penghargaan Hadi Soesastro Prize dari pemerintah Australia.
Selain pendidikan formal, Bimo juga mengikuti program postdoctoral di NATSEM (National Centre for Social and Economic Modelling), University of Canberra, dan DCID (Duke Center for International Development), Duke University.
Perjalanan Karir Bimo Wijayanto
Karier Bimo Wijayanto di pemerintahan dimulai di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada Januari 2003 dan berlangsung hingga Januari 2010. Sambil bekerja di DJP, dia juga menjadi dosen paruh waktu di Pendidikan Profesi Akuntan (PPA), Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM (2007-2009).
Setelah meninggalkan DJP, Bimo sempat menjadi Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden (KSP) pada era Presiden Joko Widodo (2015-2016). Di KSP, dia berperan dalam menyiapkan bahan pertemuan dan rapat terkait perpajakan, antikorupsi, dan anti pencucian uang.
Selanjutnya, Bimo menjabat sebagai Asisten Deputi Investasi Strategis di Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) dan Sekretaris Deputi Bidang Kerja Sama Ekonomi dan Investasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Selain berkarier di pemerintahan, Bimo juga tercatat pernah menjadi Komisaris Independen di PT Phapros sejak 2021 dan komisaris di beberapa perusahaan lain.
Terakhir, sebelum ditunjuk sebagai calon Dirjen Pajak, Bimo masih aktif menjabat sebagai Asisten Deputi Investasi Strategis di Kemenko Marves.
Total Kekayaan Bimo Wijayanto
Sebagai penyelenggara negara, Bimo Wijayanto juga memiliki kewajiban untuk melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Berdasarkan LHKPN yang dilaporkan pada tahun 2021, total kekayaan Bimo Wijayanto mencapai Rp6,67 miliar.
Rincian kekayaan Bimo Wijayanto terdiri dari:
- Tanah dan bangunan senilai Rp5,8 miliar yang tersebar di Sleman, Yogyakarta, dan Gunung Kidul.
- Mobil Toyota Fortuner senilai Rp370 juta.
- Harta bergerak lain senilai Rp200 juta.
- Kas dan setara kas senilai Rp300 juta.
Baca juga : Perusahaan Masih Bingung Pakai Tarif Pajak 22 Persen atau PPh Final? Perhatikan Penjelasan DJP Ini