Pajak atas Sewa Tanah untuk Villa di Bali, simak ketentuannya!

sewa tanah

Pertumbuhan sewa tanah villa di Bali dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren yang sangat pesat. Kawasan-kawasan seperti Ubud, Uluwatu, Canggu, Berawa, dan Cemagi menjadi incaran bagi investor dan wisatawan, mendorong pembangunan akomodasi berbasis villa secara masif. Sayangnya, di balik geliat ekonomi ini, terdapat konsekuensi serius berupa alih fungsi lahan pertanian yang semakin mengkhawatirkan. Gubernur Bali, Wayan Koster, bahkan pernah memperingatkan potensi krisis pangan akibat penurunan stok beras lokal hingga 50% dalam lima tahun terakhir. Sekitar 2.000 hektar sawah telah beralih fungsi menjadi bangunan komersial, termasuk villa. Maraknya pembangunan akomodasi pariwisata illegal di Bali juga sudah mendapat sorotan banyak pihak (Indonesia Expose/21/08/2025).

Di tengah maraknya penjualan tanah untuk pembangunan villa, masyarakat Bali perlu mempertimbangkan alternatif yang lebih aman: mengontrakkan tanah. Dengan sistem sewa, pemilik tetap memiliki hak atas tanah sambil memperoleh penghasilan dari sewa jangka panjang. Ini untuk menjaga warisan leluhur dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk mempertimbangkan alternatif seperti kontrak sewa tanah daripada penjualan permanen, agar lahan tetap berada dalam kendali masyarakat lokal.

Aturan Pajak Sewa tanah dan/atau Bangunan

Dalam konteks perpajakan, transaksi sewa tanah untuk keperluan villa termasuk dalam objek Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017. PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh pasal 4 ayat (2) secara final, artinya tidak digabungkan dengan penghasilan lain dalam penghitungan pajak tahunan. Jenis pajak ini berlaku baik untuk penyewaan oleh orang pribadi maupun badan usaha.

Tarif PPh Sewa Tanah dan/atau Bangunan

Tarif PPh final atas transaksi sewa tanah ditetapkan sebesar 10% dari jumlah bruto nilai sewa tanah. Jumlah bruto ini mencakup seluruh pembayaran yang diterima oleh pemilik tanah, baik dalam bentuk uang maupun fasilitas lain yang terkait dengan sewa tersebut termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya layanan, dan biaya fasilitas lainnya. Misalnya, jika tanah disewakan untuk pembangunan villa dengan nilai sewa Rp100 juta, maka PPh final yang terutang adalah Rp10 juta.

PPh jika Penghasilan diterima oleh WNA

Jika penghasilan sewa tanah dan/atau Bangunan diterima oleh Warga Negara Asing (WNA), maka perlakuan pajaknya bergantung pada status subjek pajaknya. WNA yang merupakan subjek pajak luar negeri dikenakan tarif 20% dari jumlah bruto penghasilan sewa, sesuai ketentuan Pasal 26 UU PPh. Namun, jika WNA tersebut telah menjadi subjek pajak dalam negeri dan memiliki NPWP, maka tarif yang berlaku adalah 10% final, sama seperti WP dalam negeri lainnya. Selain itu WNA juga dapat memilih dan berhak memperoleh manfaat sesuai persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) sepanjang menyerahkan Surat Keterangan Domisili WP Luar Negeri dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018.

PPh atas perjanjian Bangun Guna Serah

Hukum Indonesia melarang WNA memiliki tanah dengan status Hak Milik, sehingga leasehold (sewa jangka panjang) menjadi solusi legal dan praktis bagi investor asing yang ingin memiliki villa di Bali. Investor asing atau lokal dapat menyewa tanah melalui leasehold, lalu membangun villa di atasnya. Sehingga dalam praktiknya dilapangan sering dijumpai juga adanya perjanjian Bangun Guna Serah (BGS). Menurut Pasal 1 angka 3 PP 34 tahun 2017, BGS adalah bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan Bangunan selama masa perjanjian dan mengalihkan kepemilikan Bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah investor mengoperasikan Bangunan tersebut atau sebelum investor mengoperasikannya.

Adapun yang menjadi potensi Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan dalam pelaksanaan perjanjian BGS meliputi:

  1. penghasilan atas pembayaran berkala/rutin selama masa perjanjian Bangun Guna Serah;
  2. penghasilan dalam bentuk Bangunan yang diserahkan sebelum perjanjian Bangun Guna Serah berakhir;
  3. penghasilan dalam bentuk Bangunan yang diserahkan atau seharusnya diserahkan pada saat perjanjian Bangun Guna Serah berakhir; dan/atau
  4. penghasilan lain terkait perjanjian Bangun Guna Serah, termasuk pembayaran terkait bagi hasil penggunaan Bangunan dan denda perjanjian Bangun Guna Serah

Skema Bangun Guna Serah adalah solusi win-win yang menjaga kepemilikan tanah oleh masyarakat Bali sekaligus membuka peluang investasi pariwisata.

Mekanisme Pemotongan/ Pembayaran PPh 

Kewajiban perpajakan atas transaksi sewa tanah dan/atau bangunan dapat dilakukan melalui dua mekanisme yaitu, pemotongan oleh penyewa atau penyetoran sendiri oleh pemilik tanah. Jika penyewa merupakan badan usaha, instansi pemerintah, atau pihak yang ditunjuk sebagai pemotong pajak, maka mereka wajib memotong dan menyetorkan PPh final saat pembayaran dilakukan. Namun, jika penyewa bukan pemotong pajak, maka pemilik tanah wajib menyetor sendiri PPh final tersebut dan melaporkannya dalam SPT Masa dan SPT Tahunan.

Sesuai pasal 16 Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-11/PJ/2025 ditegaskan kembali orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan. Orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas dan/atau orang pribadi yang menjalankan usaha, yang menyelenggarakan pembukuan wajib melakukan pemotongan atas Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.

Seiring dengan implementasi Coretax dan perubahan regulasi terbaru, untuk penyetoran sendiri, WP tidak dapat langsung membuat billing seperti di DJPOnline. Saat ini penyetoran PPh sewa tanah dan/atau bangunan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa, dengan menerbitkan Bukti Potong PPh pada menu Coretax – Ebupot – Penyetoran Sendiri – Nama Objek Pajak – Kode Objek Pajak 28-403-02 – nanti akan tergenerate kode pembayaran pajak 411128-403 pada billing.

Cara Pelaporan SPT masa dan SPT Tahunan di Coretax 

Pelaporan penghasilan sewa tanah kini dapat dilakukan secara digital melalui sistem Coretax DJP. Setelah WP sukses membuat bukti potong PPh, jangan lupa melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh yang terutang paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa. WP dapat melaporkannya di menu SPT masa PPh Unifikasi Coretax.

Pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi kini lebih mudah dan efisien dibandingkan sistem sebelumnya. Untuk melaporkan penghasilan PPh pasal 4 ayat (2) yang diterima sepanjang tahun di SPT Tahunan, WP cukup melaporkannya di bagian I “Pernyataan Transaksi Lainnya” angka 14c pilih jawab “Ya” pada pertanyaan: Anda menerima penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan bersifat final? *. Setelah memilih “Ya” maka akan diarahkan untuk mengisi lampiran 2 Tabel A (Penghasilan Yang Dikenakan Pajak Penghasilan Bersifat Final). Apabila WP sebelumnya telah sukses membuat bukti potong dan dilaporkan di SPT masa PPh Unifikasi, maka seharusnya data penghasilan atas sewa tanah dan/atau bangunan otomatis ter-prepopulated pada SPT Tahunan WP.

Melaporkan harta di SPT Tahunan merupakan hal yang tak kalah penting bagi WP. Tanah yang disewakan tidaklah mengubah kepemilikan/status tanah tersebut. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-11/PJ/2025 yang ditetapkan pada 22 Mei 2025, WP wajib melaporkan Aset Tanah yang dimiliki pada Lampiran 1 SPT Tahunan tabel nomor 5 yaitu harta tidak bergerak (termasuk tanah bangunan). WP memilih kode 0507 untuk melaporkan kepemilikan “Tanah dan/atau Bangunan yang Disewakan”. Pada tabel tersebut WP wajib menyampaikan informasi terperinci mengenai lokasi harta, ukuran properti tanah, ukuran properti bangunan, sumber kepemilikan, nomor sertifikat, tahun perolehan, biaya perolehan, nilai saat ini, dan keterangan.

Melaporkan harta di SPT Tahunan tidak otomatis akan menambah jumlah pajak yang harus WP bayarkan, melainkan hanya untuk menilai kewajaran penghitungan pajak berdasarkan perbandingan jumlah penghasilan dengan kenaikan harta bersih di tahun tersebut. Jadi tidak perlu khawatir jika melengkapi tabel harta akan menambah jumlah pajak yang terutang.

Sebagai penutup, penting bagi para pelaku usaha dan pemilik tanah di Bali untuk memahami dan melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar. Kepatuhan terhadap pajak bukan hanya bentuk kontribusi terhadap negara, tetapi juga strategi untuk menjaga keberlanjutan usaha. Dengan membayar pajak secara tepat, pelaku usaha dapat menghindari sanksi, membangun reputasi yang baik, dan pada akhirnya mengoptimalkan keuntungan dari bisnis properti villa yang terus berkembang di Bali.

Baca juga : Purbaya Ungkap Pajak Rajin Ditarik, Uangnya Malah Numpuk di BI