Hakim Pengadilan Pajak Junaidi Eko Widodo Soroti Tantangan dan Potensi Sengketa di Era Ekonomi Digital yang Kian Kompleks

Ekonomi digital yang berkembang pesat menghapus batas yurisdiksi dalam bertransaksi. Dalam sudut pandang Hakim Pengadilan Pajak Junaidi Eko Widodo, perkembangan tersebut menimbulkan potensi sengketa pajak yang perlu dimitigasi oleh pelaku usaha maupun otoritas. Junaidi pun memetakan potensi sengketa pajak di era ekonomi digital.
Pertama, potensi sengketa terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Junaidi mengatakan bahwa potensi ini bisa terjadi ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan pemeriksaan kepada Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), seperti Netflix atau YouTube sebagai pihak ketiga yang memungut PPN dari konsumen.
“Kalau mereka [PMSE] diperiksa dan keluar SKP [Surat Keterangan Pajak], apakah mereka bisa mengajukan upaya hukum banding Pengadilan Pajak? Apakah mereka [dari luar negeri] bisa mewakili sebagai Wajib Pajak di sini? Itu aturan-aturan mungkin yang harus diperjelas,” ungkap Junaidi dalam diskusi bertajuk Kupas Tuntas Perpajakan Ekonomi Digital.
Kedua, potensi sengketa terkait penentuan objek PPN. Berdasarkan pengalamannya, perbedaan persepsi objek PPN kerap menjadi sengketa di Pengadilan Pajak.
“Kalau di aturan jelas, yang dikecualikan dari PPN ini dan itu. Tapi, begitu pemeriksaan, itu yang tadinya jelas menjadi tidak jelas. Hingga akhirnya masuk ranah Pengadilan Pajak. Di sana nanti ada pembuktian. Ini masuk objek pajak karena buktinya ini, klasifikasinya dan sebagainya. Itu terkait dengan penentuan objeknya dari transaksi,” jelas Junaidi.
Ketiga, potensi sengketa karena penentuan tarif Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan pengkreditan pajak masukan, sehingga diperlukan data serta dokumen yang kuat. Keempat, potensi sengketa terkait penentuan kurs dalam pelaporan PMSE.
“Nanti kalau diperiksa, biasanya sengketanya, ’ini mau pakai kurs yang mana?’ Kemudian, dengan nilai yang mana, kurs tanggal berapa, jam berapa? Karena kurs naik turun, ya. Belum lagi terkait dengan penentuan kurs saja sudah berbeda-beda, ada yang pakai kurs KMK [keputusan menteri keuangan], ada yang pakai kurs BI [Bank Indonesia], dan sebagainya. Ini bisa memunculkan sengketa-sengketa baru,” ungkap Junaidi.
Ia berharap, DJP dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dapat merumuskan aturan pajak yang semakin adil bagi para pelaku ekonomi digital. Di sisi lain, Wajib Pajak harus mematuhi regulasi dengan baik agar dapat memitigasi sengketa di kemudian hari.
“Kami juga para Hakim di Pengadilan Pajak terus meningkatkan kapasitas mengenai transaksi digital dan teknologi,” pungkas Junaidi.
Baca juga : Tarif Bunga Sanksi Administratif Pajak Periode November 2025


