
Jual beli via lokapasar atau pedagang online memang sedang merajai sistem perdagangan di negeri ini. Tak percaya dengan toko online berupa website karena rawan penipuan, jutaan pedagang mendaftarkan diri di lokapasar karena lebih mudah untuk mendapatkan pembeli.
Posisi penjual juga tergolong trusted, karena dana baru akan dicairkan saat barang yang dijual sudah sampai di pembeli via jasa ekspedisi. Belum lagi kondisi pandemi Covid -19 yang melanda selama 2021-2023, mendorong jual beli ini semakin menjamur, mengingat kebijakan yang ditempuh pemerintah via PSBB dan PPKM.
Data Badan Pusat Statistik dalam Publikasi Statistik E-Commerce 2003, menunjukkan jumlah merchant yang menjalankan usaha via e-commerce mencapai 3,82 juta. Jumlah ini naik 27.40% dibandingkan tahun 2022. Sementara itu volume transaksi e-commerce 2023 sebanyak Rp. 1.100,87 Triliun. Akan tetapi jika ditarik garis lurus dengan penerimaan perpajakan dari perdagangan via e-commerce, penerimaan pajak dari sektor ini belum mencerminkan potensi sesungguhnya.
Kesetaraan Pedagang Online dan Offline
Pada dasarnya, apapun jenis usaha yang dijalankan, pasti terdapat unsur pajak di dalamnya. Peraturan Pemerintah 46 tahun 2018 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP 55 tahun 2022 bahkan memberikan fasilitas khusus pada pelaku usaha UMKM Orang Pribadi yang akumulasi omzetnya belum mencapai Rp. 500.000.000 dalam setahun. Atas kriteria ini, tidak wajib menyetorkan PPh Final 0.5% atas peredaran brutonya.
Terbitnya PMK Nomor 37 Tahun 2025 di medio 2025 ini cukup menghebohkan kalangan pedagang online. Mereka sempat bereaksi bahwa pemungutan lewat lokapasar ini cukup memberatkan, mengingat keuntungan yang mereka dapat relatif kecil, belum lagi biaya layanan/handling fee dari lokapasar yang semakin hari semakin mencekik, antara 5-15% dari transaksi.
Padahal jika Kawan Pajak lebih mencermati isi dari PMK 37 tahun 2025, sebenarnya tidak perlu ada reaksi yang berlebihan. Seperti halnya perusahaan barang dan jasa dapat menunjuk pesohor sebagai brand ambassador, pemerintah pun dapat menunjuk Pihak Lain sebagai mitra pemerintah untuk dapat membantu dalam melakukan pemungutan pajak. Semata-mata demi kesederhanaan, efisiensi dan efektifitas dalam menghimpun penerimaan negara.
Pajak Penghasilan yang dipungut oleh lokapasar tersebut pun pada dasarnya sama dengan PPh Final yang dibayarkan oleh pedagang offline. Jadi ini bukanlah jenis pajak baru. PPh Pasal 22 ini dipungut atas unsur dari omzet, yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri yang tercantum dalam dokumen tagihan, tidak termasuk pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (Pasal 8). Kriteria pedagang dalam negeri di dalam PMK 37 ini pun tidak terbatas hanya pihak yang melakukan jual beli barang dan jasa, namun juga perusahaan jasa asuransi, perusahaan jasa ekspedisi/jasa pengiriman dan jasa lainnya yang terkait.
Unsur Keadilan bagi Pedagang Online
Tak perlu takut, bimbang apalagi khawatir. Jika omzet pedagang online Orang Pribadi belum mencapai Rp.500.000.000,00 dalam setahun masih mendapatkan “fasilitas tidak wajib membayar PPh 0,5%” dari pemerintah sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan. Silakan sampaikan Surat Pernyataan menyatakan bahwa Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun Pajak berjalan sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) lewat saluran yang disediakan oleh lokapasar.
Hal ini menjadi sangat penting untuk dilakukan. Jika pada praktiknya pedagang online Orang Pribadi yang nyata-nyata omzetnya belum mencapai Rp. 500.000.000,00 tidak menyampaikan Surat Pernyataan ini di awal tahun, maka dianggap penghasilannya sudah mencapai Rp. 500.000.000,00 sehingga akan dipungut PPh Pasal 22 oleh lokapasar.
Hal yang sama berlaku pula untuk Kawan Pajak pedagang online yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 22 ataupun PPh 23. Dengan adanya Surat pernyataan dan SKB ini, pedagang online Orang Pribadi/Badan sesuai kriteria tersebut, tidak akan dipungut PPh 22 sebesar 0.5%.
Lalu bagaimana jika suatu waktu, omzet pedagang online Orang Pribadi tersebut secara akumulatif sudah mencapai lebih dari Rp. 500.000.000,00? Apa yang harus ia lakukan? Pedagang online Orang Pribadi tersebut harus menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan bahwa Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun Pajak berjalan melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) paling lambat di akhir bulan saat Peredaran Bruto melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ketentuan ini ada di Pasal 6 ayat 7. Contoh format Surat Pernyataan pun tersedia di lampiran PMK Nomor 37 Tahun 2025.
Bagi pedagang online yang sudah mencapai omzet di atas Rp. 4.800.000.000,00 pun, pemungutan PPh Pasal 22 oleh lokapasar ini menjadi kredit Pajak di SPT Tahunan, sehingga dapat mengurangi PPh Pasal 29 di akhir tahun.
Kembali ke keadaan Meta di awal tulisan. Asumsikan saja bahwa omzet toko onlinenya belum mencapai Rp. 4.800.000.000,00 dalam setahun. Sejak berlakunya PMK 37 tahun 2025 ini, Meta mendapatkan kemudahan yang menyederhanakan hidupnya, karena pemungutan PPh 22 sudah dilakukan secara otomatis oleh lokapasar. Meta tidak perlu lagi menghitung omzet bulanan dan menyetorkannya secara manual ke kas negara, karena pemungutan dan penyetoran akan diakukan oleh lokapasar. Yang Meta perlu lakukan adalah mendokumentasikan dokumen tagihan sebagaimana dimaksud Pasal 12 yang dibuat oleh lokapasar, untuk nanti dapat dilaporkan di SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya di akhir tahun pajak.
Mari Kawan Pajak pedagang online, untuk dapat mencermati terlebih dahulu sebelum bereaksi. PMK 37 tahun 2025 ini semata-mata dibuat untuk menciptakan kesederhanaan dan mendukung efisiensi pengumpulan penerimaan negara. Pajak Tumbuh, Indonesia Tangguh.