Kondisi konsumsi yang masih lemah pada kuartal pertama tahun 2024 dan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Pertanyaan pun muncul, apakah langkah tersebut akan sesuai ataukah justru semakin membebani daya beli masyarakat?
Institute for Development of Economic and Finance (Indef), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2024 menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih belum pulih sepenuhnya setelah dampak pandemi Covid-19.
Indef mengungkapkan bahwa potensi erosi terhadap daya beli konsumsi masyarakat dapat meningkat jika pemerintah tetap memperjuangkan peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025.
Menurut ekonom Indef, Riza Annisa, pasca pandemi Covid-19, kenaikan harga-harga seperti bahan pangan dan bahan bakar minyak telah secara signifikan menekan daya beli masyarakat. Dampak dari hal ini adalah stagnasi tingkat belanja masyarakat pada angka sekitar 4%.
dikutip Rabu, (8/5/2024).Riza menyatakan dalam diskusi Indef bahwa setelah mencoba bangkit, masyarakat dihadapkan pada lonjakan harga pertalite dan pangan, terutama pada tahun 2023.
Dia menjelaskan bahwa kenaikan harga pangan dan BBM berdampak pada meningkatnya inflasi di sektor lainnya. Dengan pendapatan masyarakat yang tetap stagnan, hal ini berimplikasi pada penurunan daya beli masyarakat akibat lonjakan harga tersebut.
“Jadi, itulah yang merusak daya beli masyarakat kita,” ujar dia.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,11% pada kuartal I 2024. Namun, pertumbuhan konsumsi masyarakat hanya mencapai 4,91%, di bawah level sebelum pandemi yang mencapai 5%. Meskipun pada triwulan pertama tahun ini terdapat momen-momen seperti Ramadhan dan persiapan Idul Fitri yang seharusnya mendorong konsumsi masyarakat.
“Karena kita terus-menerus diserang, itulah mengapa daya beli belum pulih,” ujar Riza.
Riza mengkhawatirkan bahwa penurunan daya beli konsumsi masyarakat ini akan berlanjut ke kuartal II 2024 dan mungkin periode selanjutnya. Dia mencatat bahwa di kuartal II terdapat momen dimulainya tahun ajaran baru yang berarti banyak uang digunakan untuk biaya pendidikan. Riza memperkirakan bahwa masyarakat kemungkinan akan semakin menahan pengeluaran mereka.
Riza juga mengangkat isu rencana pemerintah untuk meningkatkan tarif PPN menjadi 12% pada Januari 2025, yang merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan yang sudah disahkan sejak 2021.
Menurut Riza, Undang-Undang tersebut mengamanatkan peningkatan tarif PPN menjadi 11% pada April 2022 dan kemudian kembali meningkat menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. Dia yakin bahwa jika kenaikan ini dilaksanakan, daya beli masyarakat, terutama di kalangan menengah, akan semakin terkikis.
“Dengan kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025, akan terjadi penurunan lagi dalam daya beli, terutama jika tidak ada inovasi atau kebijakan baru yang diterapkan,” ujarnya.
Baca juga : Dampak Fluktuasi Kurs Dolar Berdampak ke Setoran Pajak, Ini Penjelasannya