Pajak dan UMKM: Ikhtiar Bersama Menuju Kemandirian Bangsa

umkm

Saat berbicara tentang kekuatan ekonomi Indonesia, jangan pernah melupakan peran strategis satu kelompok usaha yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional: Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dari warung kelontong di gang sempit, pedagang daring di media sosial, hingga pengrajin di pelosok desa, semua termasuk ke dalam keluarga besar UMKM.

Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, lebih dari 99% pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM. Mereka menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional dan menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam istilah yang lebih sederhana, UMKM bukan sekadar pelengkap, tetapi pilar utama ekonomi Indonesia.

Momentum peringatan Hari UMKM Nasional setiap 12 Agustus menjadi kesempatan reflektif sekaligus afirmatif atas peran vital mereka. Tanggal ini berangkat dari Kongres UMKM pertama di Yogyakarta pada 2016 dan memiliki kaitan historis dengan kelahiran Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, yang juga dikenal sebagai tokoh penggerak ekonomi kerakyatan. Peringatan ini mengingatkan kita bahwa UMKM bukan sekadar pelaku usaha, tetapi representasi semangat kemandirian ekonomi bangsa.

Namun, di balik potret optimisme itu, terdapat tantangan fundamental: bagaimana UMKM bisa terus tumbuh, naik kelas, dan berdaya saing global tanpa meninggalkan aspek kepatuhan hukum, termasuk dalam hal perpajakan. Di sinilah pentingnya memosisikan pajak bukan sebagai beban, melainkan sebagai mitra strategis dalam perjalanan usaha.

Pajak dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah : Bukan Lawan, Tapi Kawan

Masih banyak pelaku UMKM yang menyimpan kekhawatiran atau bahkan resistensi terhadap pajak. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat banyak pelaku UMKM berada pada tahap awal usaha, dengan sumber daya yang terbatas. Kerap muncul pertanyaan bernada ragu: “Usaha saya masih kecil, apakah harus bayar pajak?”

Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah justru terus menunjukkan keberpihakannya terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, terutama melalui kebijakan fiskal yang ramah dan penuh insentif.

Misalnya, saat pandemi COVID-19 melanda, pemerintah menerbitkan berbagai kebijakan untuk meringankan beban Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Melalui PMK Nomor 23/PMK.03/2020 hingga PMK Nomor 114/PMK.03/2022, UMKM dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun dibebaskan dari kewajiban membayar PPh Final 0,5%. Yang perlu dilakukan hanyalah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan mengajukan pemanfaatan insentif jika sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Kebijakan ini menunjukkan bahwa negara hadir bukan hanya dalam hal penarikan pajak, tetapi juga dalam memberikan ruang napas agar pelaku usaha bisa bertahan dan tumbuh.

Pemerintah kemudian melanjutkan keberpihakan itu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 dan PMK Nomor 164 Tahun 2023. Intinya, UMKM yang memiliki omzet tahunan hingga Rp4,8 miliar dikenai tarif PPh Final hanya sebesar 0,5% dari omzet. Bahkan lebih dari itu, untuk pelaku usaha orang pribadi, apabila peredaran bruto tahunan belum mencapai Rp500 juta, tidak dikenai Pajak Penghasilan sama sekali.

Bayangkan, jika omzet usaha Anda hanya Rp10 juta per bulan dan omzet tahunan Anda baru Rp120 juta, maka tidak ada kewajiban membayar pajak. Kalaupun sudah melampaui Rp500 juta, dengan tarif 0,5%, pajak yang dibayarkan hanya sekitar Rp50.000 per bulan. Ringan, bukan?

Lebih dari itu, kewajiban administrasi juga dibuat sesederhana mungkin. Penyetoran pajak cukup dilakukan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Sementara itu, pelaporan dapat dilakukan secara daring, paling lambat tanggal 20, dan hanya berlaku bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengahyang omzetnya sudah melampaui Rp500 juta. Bila belum, bahkan pelaporan SPT Masa juga dikecualikan.

Manfaat Patuh Pajak bagi UMKM

Lalu, mengapa UMKM tetap perlu patuh terhadap pajak meskipun beban fiskalnya ringan? Karena kepatuhan pajak membuka banyak pintu kemajuan.

Pertama, pelaku UMKM yang patuh pajak lebih mudah mendapatkan akses pembiayaan, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau pinjaman dari lembaga keuangan formal. Bank dan koperasi akan lebih percaya kepada usaha yang memiliki rekam jejak legal, termasuk NPWP dan bukti pelaporan pajak.

Kedua, pelaku UMKM bisa ikut dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Banyak program pemerintah daerah maupun pusat yang mengharuskan calon penyedia barang/jasa memiliki status perpajakan yang aktif dan bersih.

Ketiga, dalam perspektif bisnis, UMKM yang patuh pajak lebih kredibel di mata calon mitra atau investor. Ketaatan pada aturan hukum menunjukkan keseriusan dan tata kelola usaha yang baik.

Terakhir, kepatuhan pajak menempatkan UMKM dalam ekosistem ekonomi formal. Ini bukan hanya soal status legal, tetapi juga peluang untuk tumbuh melalui pelatihan, pendampingan, dan kolaborasi lintas sektor.

Dari Kepatuhan Menuju Kemandirian

Membayar pajak, dalam konteks Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, bukan sekadar memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga langkah nyata menuju kemandirian ekonomi bangsa. Setiap rupiah pajak yang disetor akan kembali ke masyarakat dalam bentuk infrastruktur, subsidi, pelatihan, digitalisasi, dan akses pasar—semuanya faktor yang bisa mendorong UMKM naik kelas.

Jika jutaan pelaku UMKM di seluruh Indonesia patuh pajak, maka penerimaan negara akan lebih kuat, dan Indonesia bisa lebih mandiri tanpa ketergantungan tinggi pada utang luar negeri. Artinya, pajak dari UMKM bukan hanya untuk kepentingan negara, tetapi juga untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah itu sendiri dan generasi penerusnya.

Inilah esensi gotong royong dalam konteks ekonomi modern: seluruh warga negara ikut menopang pembangunan, dan negara memberi kembali dalam bentuk layanan, kemudahan, dan keberpihakan.

Saatnya Mengubah Paradigma

Sudah saatnya kita bersama-sama mengubah cara pandang terhadap pajak, khususnya di kalangan UMKM. Pajak bukan lagi simbol tekanan, melainkan bekal pertumbuhan. Pemerintah telah memberikan kemudahan dan insentif. Tinggal bagaimana pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah merespons dengan semangat kolaborasi dan kesadaran baru.

Mari kita lihat pajak sebagai sahabat, bukan sekadar kewajiban. Jadikan kepatuhan pajak sebagai strategi usaha, bukan beban operasional. Dari sini akan lahir Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang lebih siap menghadapi tantangan global, dan Indonesia yang lebih kokoh berdiri di atas kemandirian ekonominya sendiri.

Di Hari UMKM Nasional ini, mari kita teguhkan satu ikhtiar bersama: membangun ekonomi kuat dari akar rumput, melalui Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mandiri, legal, dan taat pajak. Karena dari langkah kecil inilah, masa depan besar bangsa bisa dimulai.

Baca juga : Heboh Pungutan Pajak atas Pedagang Online, Bukan Jenis Pajak Baru