Penetapan pajak PBJT untuk layanan hiburan seperti diskotek, karaoke, dan spa dinilai melanggar Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.
Penetapan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) khusus atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dinilai bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945. Hal ini disampaikan Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan sebagai saksi ahli dalam sidang pengujian materiil UU HKPD di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (28/8/2024).
Menurut Djohan, Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 telah mengamanatkan agar hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemda dilaksanakan secara adil dan selaras.
“Penetapan tarif PBJT khusus 5 jasa hiburan tadi telah mencederai konstitusi dan melemahkan otonomi yang menjadi amanah reformasi, sehingga layak dibatalkan oleh MK,” ujar Djohan.
Dalam pemaparannya, Djohan mengatakan hubungan keuangan antara pusat dan daerah berjalan secara tidak adil mengingat pengenaan pajak-pajak yang berpotensi besar menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat. Pemda hanya mendapatkan kewenangan untuk mengenakan pajak yang potensinya minim.
“Pajak yang gemuk-gemuk dan berdaging cenderung diambil sendiri, sedangkan yang kurus-kurus dan tidak seberapa hasilnya diserahkan ke pemda,” ujar Djohan.
Oleh karena tidak ada potensi pajak yang besar di daerah, Djohan mengatakan pemerintah mengambil langkah sembrono dengan menetapkan batas bawah sebesar 40% dan batas atas sebesar 75% untuk PBJT atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Menurut Djohan, adanya tarif batas bawah sebesar 40% telah mengurangi ruang bagi pemda untuk bermanuver dalam menetapkan kebijakan pajak di daerahnya masing-masing.
“Walaupun ada Pasal 101 UU HKPD yang mengatur pemberian insentif fiskal, tetapi prosedur untuk mendapatkannya berbelit-belit dan tidak banyak membantu kepala daerah dalam mewujudkan pajak daerah yang berkeadilan,” ujar Djohan.
Akibat minimnya keleluasaan bagi pemda untuk menurunkan tarif, Djohan khawatir banyak pengusaha di daerah yang berpotensi gulung tikar. Berkurangnya jumlah pelaku usaha pada ujungnya akan menekan potensi PBJT dan mendorong berkembangnya bisnis jasa hiburan ilegal.
Seperti diketahui, tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa telah diatur dalam UU HKPD. Tarif PBJT di 5 lokasi tersebut berbeda dengan tarif PBJT umum yang maksimal hanya sebesar 10%.
Merespons diskriminasi tarif tersebut, terdapat 3 pihak yang mengajukan pengujian materiil ke MK yakni Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia, PT Imperium Happy Puppy, dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).
Secara khusus, Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia meminta MK untuk menyatakan frasa ‘mandi uap/spa’ pada Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, PT Imperium Happy Puppy meminta MK untuk menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke namun dikecualikan terhadap karaoke keluarga, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
GIPI juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian, seluruh jenis jasa hiburan seharusnya dikenai PBJT dengan tarif yang sama, yaitu maksimal 10%. (sap)
Baca Juga : Target Pajak 2025 Dipatok Rp 2.189 T, Cari di Mana ?