PER-16/PJ/2025 Terbit, Restitusi Pajak Kini Lebih Jelas dan Transparan

PER-16/PJ/2025

 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor PER-16/PJ/2025 yang mengubah PER-6/PJ/2025 tentang pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak (restitusi) bagi Wajib Pajak kriteria tertentu, Wajib Pajak persyaratan tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah. Regulasi yang mulai berlaku sejak 13 Agustus ini menyempurnakan ketentuan yang sudah ada, serta memperluas cakupan ke special purpose company (SPC) dan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang berstatus PKP berisiko rendah.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan, penyempurnaan aturan ini bertujuan memperkuat kepastian hukum dan mempercepat layanan restitusi.

“Untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, perlu menyesuaikan ketentuan mengenai pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak terhadap Wajib Pajak kriteria tertentu, Wajib Pajak persyaratan tertentu, dan pengusaha kena pajak berisiko rendah, serta special purpose company atau kontrak investasi kolektif sebagai pengusaha kena pajak berisiko rendah,” jelas Bimo pada bagian pertimbangan aturan tersebut.

Rincian Perubahan Restitusi Pajak dalam PER-16/PJ/2025

Salah satu poin penting dalam aturan baru ini adalah penambahan ayat (2a) pada Pasal 6 yang mengatur secara rinci dokumen Pajak Masukan, yang dapat diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak. DJP mewanti-wanti, kebijakan ini berlaku pada Pajak Masukan yang tercatat di faktur pajak atau dokumen tertentu yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), serta telah tervalidasi di sistem DJP.

PER-16/PJ/2025 juga menegaskan kewajiban penelitian oleh DJP sebelum menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Prosesnya dimulai ketika Wajib Pajak mengajukan permohonan restitusi melalui SPT atau permohonan tersendiri.

DJP kemudian melakukan penelitian, yang mencakup keabsahan status PKP berisiko rendah, verifikasi kebenaran pengkreditan Pajak Masukan, hingga pemeriksaan data pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jika hasil penelitian menyatakan tidak ada kelebihan bayar atau permohonan tidak memenuhi syarat, DJP akan menerbitkan surat pemberitahuan dan menindaklanjuti sesuai Pasal 17B UU KUP.

Di sisi lain, PER-16/PJ/2025 memberikan perhatian khusus pada permohonan restitusi yang berasal dari SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) tahun pajak 2024 yang diajukan oleh Wajib Pajak orang pribadi tertentu, tetapi PER-16/PJ/2025 juga mengandung kesalahan pencantuman PPh Pasal 21. Dalam peraturan ini ditegaskan bahwa terhadap permohonan tersebut, maka dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak, tidak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak dan hanya diberitahukan kepada Wajib Pajak pemohon, serta tidak ditindaklanjuti berdasarkan Pasal 17B Undang-Undang KUP.

DJP juga memperjelas kriteria Wajib Pajak orang pribadi tertentu yang dimaksud. Mereka adalah individu selain pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pejabat negara, dan pensiunannya, yang hanya menerima penghasilan dari satu pemberi kerja atau dana pensiun, tidak memiliki pengurang penghasilan berupa zakat atau sumbangan keagamaan di luar pemberi kerja, serta kelebihan bayar terjadi karena penghitungan PPh terutang menurut Wajib Pajak lebih kecil dari PPh Pasal 21 yang dipotong pemberi kerja.

“Dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak; tidak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak dan diberitahukan kepada Wajib Pajak Pemohon; dan tidak ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP,” ujar Bimo pada aturan tersebut.

Baca juga : Muncul Gerakan Stop Bayar Pajak di Medsos, DPR Buka Suara