Ikuti Standar Internasional rencana Prabowo untuk memajaki orang kaya menjadi sorotan
Rencana pemerintahan baru yang dipimpin oleh presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mengenakan pajak atas harta kekayaan atau wealth tax agar mengikuti standar internasional menjadi sorotan.
Pengenaan pajak ini, jika diterapkan kelak, wajib mengacu pada standar-standar internasional. Pasalnya, kebijakan ini akan erat kaitannya dengan rencana Indonesia masuk ke dalam keanggotaan ‘gang’ negara-negara maju alias OECD.
Sekertaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menekankan, untuk bergabung dengan OECD pun Indonesia harus mematuhi berbagai ketentuan perpajakan internasional itu.
“Pokoknya seluruh standar internasional yang ada di perpajakan, transparansinya, kemudian AEOI nya, Automatic Exchange of Information, semuanya harus comply, binding nanti secara standar internasional, betul-betul mengikat secara umum,” ucap Susiwijono di kantornya, seperti dikutip Selasa (1/10/2024).
Kendati demikian, Susiwijono menekankan, kebijakan eksekusi penerapan pajak atas harta kekayaan crazy rich di Indonesia itu tentu akan diterapkan pemerintahan mendatang sesuai dengan regulasi yang ada.
“Kayak kemarin ditanya apakah PPN 12% atau tidak, itu kan sudah ada pengaturan di tingkat undang-undangan. Yang sudah ada tinggal nanti kan pemerintah baru pasti akan menyiapkan,” tuturnya.
“Karena selama ini kan, kenapa isunya harus bentuk Badan Penerimaan Negara, supaya mengoptimalkan revenue kita, kan. Kita tahu kan, tax ratio kita kan, selama bertahun-tahun ini kan, memang masih 10 koma sekian persen kan, bahkan beberapa tahun di bawah 10%,” tegas Susiwijono.
Ia menekankan, fokus kebijakan pemerintah ke depan ialah untuk memperbaiki kondisi perpajakan di Indonesia. Namun, untuk rincian dari kebijakan itu akan diumumkan langsung oleh pemerintahan Prabowo, termasuk terkait penerapan pajak kekayaan.
“Jadi, pasti akan lebih fokus untuk menyederhanakan penerimaan. Saya enggak tahu apakah kebijakan yang PPN 12%, pajak kekayaan, atau apa. Nanti kan, pemerintah berikutnya itu,” kata Susiwijono.
Sebelumnya, peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) merekomendasikan pemerintah untuk segera mengenakan pajak atas harta kekayaan orang super kaya atau crazy rich di Indonesia ikut Standar Internasional . Sebab, pajak itu bisa menjadi sumber penerimaan baru bagi negara untuk mendistribusikan kesejahteraan kepada rakyat.
Rekomendasi ini dituangkan Tim peneliti Celios dalam riset berjudul “Laporan Ketimpangan Ekonomi di Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin” yang dipublikasikan pada September 2024.
Dalam riset itu terungkap bahwa kekayaan 50 triliuner teratas di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang di Indonesia. Selain itu, pertumbuhan kekayaan crazy rich tersebut jauh lebih kencang dari rata-rata kenaikan gaji kelas pekerja di Indonesia selama 3 tahun terakhir.
“Sejak 2020, kekayaan tiga orang terkaya telah meningkat lebih dari tiga kali lipat, sementara pertumbuhan upah pekerja hanya sebesar 15%. Ini adalah cerminan ketimpangan yang semakin menghambat mobilitas sosial.” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira melalui keterangan tertulis, dikutip Kamis (26/9/2024).
Negara-negara anggota G20 sejak lama telah merekomendasi para menteri keuangan negara anggotanya untuk menerapkan pengenaan pajak kekayaan secara global agar sesuai standar internasional dengan tarif 2%. Namun, rekomendasi itu belum terimplementasikan, termasuk di Indonesia.
Meski begitu, tim peneliti Celios mencatat bahwa setidaknya akan banyak manfaat bagi masyarakat bila 2% dari kekayaan orang super kaya di Indonesia dikenakan pajak. Salah satunya ialah timbulnya penerimaan negara yang sangat signifikan.
Menggunakan data Forbes pada 2023 terhadap kekayaan 50 triliuner di Indonesia, Tim peneliti Celios mencatat bahwa telah terakumulasi kekayaan sebesar US$ 251,73 miliar atau senilai Rp 4.078 Triliun (kurs dollar US$1 sama dengan Rp 16.200).
Apabila diterapkan pajak kekayaan (wealth tax) sebesar 2% dari total kekayaan itu, akan terakumulasi sekitar US$ 5 miliar atau senilai Rp 81,56 triliun tambahan penerimaan negara dalam setahun.
Tim peneliti Celios mengungkapkan, salah satu manfaat dari penerapan pajak wealth tax dari 50 triliuner terkaya di Indonesia yang bisa menghasilkan penerimaan baru Rp 81,56 triliun per tahun itu itu bisa membangun 339 ribu rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Selain itu, 15 juta warga negara bisa mendapatkan makan siang gratis selama setahun dari pajak kekayaan 50 orang super kaya. Lalu, bisa membiayai lebih dari 558 juta paket bantuan beras untuk keluarga miskin, dan membiayai biaya kuliah 18,5 juta mahasiswa.
Baca juga : Ambisi Jadi Anggota OECD, RI Siap Pungut Pajak Minimum 15%?