Keberadaan Uang Rp 76 Miliar di Rumah Suami Sandra Dewi: Terlepas dari Sorotan Pajak?

Uang tunai senilai Rp 76 miliar yang tersimpan di rumah Harvey Moeis, suami Sandra Dewi, yang merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi PT Timah Tbk (TINS)

uang

Simpanan uang tunai senilai Rp 76 miliar yang disimpan di rumah Harvey Moeis, suami Sandra Dewi, yang merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi PT Timah Tbk (TINS), mungkin tidak akan terdeteksi oleh otoritas pajak dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Menurut Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, uang dalam jumlah besar yang disimpan di luar sistem perbankan seringkali dimaksudkan untuk mengelak dari pemantauan transaksi keuangan.

“Umumnya, transaksi ekonomi bawah tanah dilakukan dengan menggunakan uang tunai, tanpa melibatkan sistem perbankan,” ungkap Prianto kepada CNBC Indonesia pada Kamis (4/4/2024).

Saat dilakukan penggeledahan pada awal pekan ini, Kejaksaan Agung telah menyita harta tersebut. Selain uang tunai, harta tersebut termasuk mobil mewah Rolls Royce dan Mini Cooper, berbagai jenis jam tangan seperti Rolex Chronograph Paul Newman dan Patek Philippe Nautilus 5980R/001, serta logam mulia.

Prianto menjelaskan bahwa setelah harta tersangka disita oleh aparat penegak hukum, Ditjen Pajak atau DJP biasanya tidak akan segera menindaklanjuti untuk memeriksa kewajiban perpajakan yang sebelumnya tidak terdeteksi. Ini karena harta tersebut umumnya akan langsung diserahkan kepada negara setelah ada putusan pengadilan.

Prianto menegaskan bahwa harta yang disita tersebut mungkin akan dikembalikan kepada negara setelah putusan pengadilan menjadi final. Oleh karena itu, DJP biasanya menunda pemeriksaan pajak sampai kasus pidananya selesai dan putusannya inkrah.

Jika penyidikan atau penyitaan dilakukan langsung oleh Ditjen Pajak melalui penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), harta yang disita tersebut dapat dijadikan sebagai jaminan untuk membayar utang pajak jika kasusnya juga sudah memiliki keputusan final.

“Kasus pidananya harus secara spesifik terkait dengan pelanggaran di ranah perpajakan. Harta yang disita tersebut mungkin dapat digunakan sebagai jaminan pembayaran utang pajak apabila kasusnya juga telah memperoleh keputusan final,” jelas Prianto.

Menurut Fajry Akbar, sebenarnya ada situasi khusus di mana uang tunai tidak dapat terdeteksi oleh wajib pajak, yaitu ketika harta yang dimilikinya tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT).

Fajry menjelaskan bahwa jika uang tunai dilaporkan dalam SPT, DJP pasti akan menemukannya. Alternatifnya, jika uang tunai tersebut digunakan untuk membeli aset seperti mobil mewah, rumah mewah, atau aset lainnya, DJP masih dapat melacaknya. Akan tetapi, hal ini diasumsikan bahwa aset tersebut dilaporkan kepada otoritas pajak dalam SPT Tahunan.

Fajry percaya bahwa jika harta-harta tersebut secara rutin dilaporkan dalam SPT, seharusnya otoritas pajak telah lama mendeteksi kewajiban perpajakannya. DJP hanya perlu mengonfirmasi data yang dilaporkan untuk mengetahui sumber dana pembelian asetnya.

Fajry menegaskan bahwa apabila uang tunai atau aset yang dibeli tidak dilaporkan, atau jika digunakan untuk aktivitas yang melanggar hukum atau terlarang, akan sulit untuk dideteksi oleh DJP.

Dengan demikian, dia menekankan pentingnya DJP untuk melakukan perbaikan pada sistem pemantauan harta jika ada kewajiban perpajakannya yang tidak terdeteksi selama ini karena harta atau uang tunai disimpan di rumah.

Langkah pertama adalah pentingnya memperluas data wajib pajak dari sumber-sumber eksternal agar kepemilikan aset atau transaksi besar dapat langsung diidentifikasi oleh DJP. Langkah kedua adalah pentingnya menerapkan pembatasan terhadap transaksi uang tunai dalam jumlah besar, seperti yang diusulkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“Fajry menyampaikan bahwa pada tahun 2022, ada usulan dan pembahasan mengenai RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai yang muncul. Hal ini dianggap sangat penting untuk pendapatan negara dan untuk mencegah tindakan korupsi. Namun, hingga saat ini RUU tersebut belum diajukan untuk dibahas oleh Baleg (Badan Legislasi),” ungkap Fajry.

Baca juga : Jelang Batas Waktu 30 April, Sebanyak 351.427 Perusahaan Sudah Melaporkan SPT