
Bayar pajak merupakan komponen vital untuk keberlanjutan ekonomi negara, dan memahami kewajiban pajak dapat membantu mencegah masalah hukum di masa depan. Pajak bukan hanya formalitas, tetapi juga fondasi bagi pertumbuhan dan kelangsungan usaha dalam perekonomian negara. Munculnya banyak wirausaha di Indonesia juga menghadirkan tantangan baru terkait tanggung jawab perpajakan.
Oleh karena itu, ada kewajiban pajak yang harus Anda ketahui dan patuhi saat membuka usaha baru di Indonesia. Salah satu pertanyaan dasar yang sering muncul ketika seseorang memulai usaha baru adalah apakah mereka harus membayar pajak sejak awal operasional.
Pemahaman tentang Pajak Usaha
Pajak usaha di Indonesia mencakup Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPh adalah jenis pajak yang dikenakan pada pendapatan yang diperoleh oleh wajib pajak. Untuk usaha yang berbentuk badan hukum, seperti Perseroan Terbatas (PT), PPh Badan menjadi prioritas utama.
Pajak Penghasilan (PPh) terdiri dari berbagai jenis, termasuk PPh Pasal 21 (gaji), PPh Pasal 22 (pajak impor), dan PPh Pasal 23 (pajak atas penghasilan dari bunga, royalti, dan sewa). Pemilik usaha perlu memahami jenis PPh yang berkaitan dengan aktivitas usahanya dan memastikan bahwa pembayaran pajak dilakukan tepat waktu.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan aspek penting bagi bisnis yang beroperasi dalam penjualan barang dan jasa. Pemahaman yang mendalam mengenai kewajiban dalam perhitungan, pelaporan, dan pembayaran PPN adalah kunci untuk menghindari masalah perpajakan. Penggunaan e-Faktur juga menjadi suatu kewajiban, di mana setiap transaksi penjualan harus dilaporkan secara elektronik kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Langkah Awal Pemilik Usaha
Langkah pertama yang harus diambil oleh pemilik usaha baru adalah mendaftarkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan dan mendapatkan status Pengusaha Kena Pajak (PKP) jika akan menjual barang dan jasa yang dikenakan PPN. NPWP berfungsi sebagai identitas pajak bagi setiap wajib pajak, sedangkan status PKP diperlukan bagi bisnis yang mencapai ambang batas omzet tertentu. Proses pendaftaran ini merupakan landasan hukum untuk menjalankan transaksi bisnis yang melibatkan aspek perpajakan.
Setelah memperoleh NPWP dan status PKP, langkah berikutnya adalah menentukan jenis pajak yang harus dibayar. Jika usaha tersebut berbentuk perseorangan, maka pemilik usaha akan dikenakan PPh sesuai tarif yang berlaku. Sementara itu, untuk badan usaha seperti Perseroan Terbatas (PT), PPh badan menjadi pertimbangan utama.
Selain pembayaran pajak bulanan atau triwulanan, pemilik usaha juga harus menyusun dan menyampaikan laporan pajak tahunan. Laporan ini mencakup rangkuman seluruh aktivitas keuangan selama satu tahun pajak dan harus diserahkan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Ketidakpatuhan terhadap kewajiban bayar pajak dapat mengakibatkan denda dan sanksi yang serius. Oleh karena itu, pemilik usaha harus memastikan semua pembayaran dan pelaporan pajak dilakukan tepat waktu dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kepatuhan pajak bukan hanya kewajiban, tetapi juga investasi untuk menjaga reputasi dan keberlanjutan bisnis.
Bayar Pajak & Besaran yang Harus Dibayarkan Pemilik Usaha
Jumlah bayar pajak yang dikenakan pada pemilik usaha dapat bervariasi tergantung pada jenis dan skala usaha yang dijalankan. Pajak yang umumnya harus dibayar mencakup pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai (PPN), serta berbagai beban pajak lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku di wilayah tempat usaha tersebut beroperasi.
Jumlah bayar pajak ini umumnya dihitung berdasarkan pendapatan atau keuntungan yang diperoleh usaha selama periode tertentu. Oleh karena itu, pemilik usaha perlu memahami peraturan perpajakan dengan baik dan memastikan kewajiban membayar pajak dilakukan tepat waktu, guna mendukung kelangsungan operasional dan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi di suatu negara.
Pelaku usaha dalam kategori Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet tahunan tidak lebih dari Rp 500.000.000 tidak akan dikenakan bayar Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% dari peredaran bruto. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, yang mengatur penyesuaian kebijakan di bidang Pajak Penghasilan (PPh) sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan. PP ini menggantikan PP Nomor 23 Tahun 2018 yang sebelumnya mengatur Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu.
Menurut Pasal 60 ayat (2) PP 55/2022, wajib pajak orang pribadi dengan peredaran bruto usaha tidak lebih dari Rp500.000.000 dalam satu tahun pajak tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan. Peredaran bruto ini dihitung secara kumulatif sejak masa pajak pertama dalam periode pajak tersebut. Besaran peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak meliputi imbalan atau nilai pengganti dalam bentuk uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
Namun, untuk UMKM dengan penghasilan bruto melebihi Rp 500.000.000 hingga Rp 4.800.000.000 (Empat Miliar Delapan Ratus Juta) dalam satu tahun pajak, akan dikenakan tarif PPh Final sebesar 0,5%. Ketentuan ini berlaku dengan syarat UMKM tersebut tidak dikenai PPh sesuai tarif Pasal 17 ayat (1)(a) UU PPh untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, atau tarif Pasal 17 ayat (1)(b) UU PPh bersama Pasal 31E untuk Wajib Pajak Badan, sesuai dengan ketentuan Pasal 57 PP 55/2022.
Baca juga : Peran Penting Konsultan Pajak Bagi UMKM