Konsumen sering membayar PPN lebih dari ketentuan, menurut Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi.
Konsumen kerap kali membayar lebih Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih dari ketentuan yang ada. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) Ardiman Pribadi.
“Kenaikan ini akan sepenuhnya dibebankan pada konsumen akhir. Dalam hitungan kami, ketika PPN dikenakan 11%, maka sebenarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terbeban pada konsumen akhir itu sebesar 19,8%,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (1/12/2024).
“Karena rantai nilai tekstil itu panjang di mana setiap pembayaran pajak yang dikeluarkan oleh setiap subsektor akan dibebankan pada harga barang,” lanjut Ardiman.
Padahal, imbuh dia, saat ini kondisi daya beli masyarakat sedang menurun.
“Kenaikan PPN ini akan berimbas pada turunnya konsumsi tekstil masyarakat. Sehingga, tujuan pemerintah untuk menerima pemasukan yang lebih besar justru menjadi kontra produktif. Karena turunnya konsumsi tekstil masyarakat akan mengakibatkan turunnya penjualan industri tekstil,” tukasnya.
“Jika Pajak Pertambahan Nilai dinaikkan menjadi 12% maka beban konsumen akhir menjadi 21,6% dari harga barang sebenarnya,” ujar Ardiman.
Karenanya, cetus Ardiman, sebaiknya pemerintah fokus memberantas impor ilegal yang membanjiri pasar domestik.
“Kalau kita hitung dari data selisih perdagangan TPT di TradeMap, dalam 5 tahun terakhir diperkirakan penerimaan negara hilang Rp46 triliun. Karena ada gap perdagangan US$7,2 miliar atau sekitar Rp106 triliun nilai barang yang tidak bayar Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan PPh,” ungkapnya.
“Asal impor ilegal diberantas, penerimaan negara dari TPT akan naik Rp9 triliun per tahun tanpa harus menaikkan PPN,” ucapnya.
Tak hanya itu, tambah dia, pemberantasan importasi ilegal juga akan menggairahkan kembali bisnis produksi TPT di Tanah Air.
“Sehingga pabrik-pabrik tekstil akan meningkatkan utilisasi produksinya, kembali beroperasi dan menyerap tenaga kerja hingga mempekerjakan tambahan karyawan,” ucapnya.
“Masyarakat yang bekerja dan berpenghasilan secara otomatis akan meningkatkan daya beli dan konsumsi. Nah di sini baru pemerintah akan mendapatkan imbasnya di PPN,” pungkas Ardiman.
Saat ini pelaku usaha, termasuk sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) ramai-ramai memprotes rencana pemerintah memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai naik jadi 12% di tahun 2025 nanti. Di sisi lain, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan, kebijakan itu hampir pasti diundur atau ditunda.
Dengan PPN 11% yang saat ini berlaku, konsumen harus membayar efek berantai PPN itu menjadi total 19% lebih atau hampir 20%.
Baca juga : Waspada! Ditjen Pajak Ingatan Risiko Penipuan Berkedok Coretax