Penerimaan Pajak Idonesia telah melampaui target selama tiga tahun berturut-turut. Namun, pencapaian ini kemungkinan besar akan terhenti pada tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa hingga 30 Juni 2024, atau semester I-2024, penerimaan pajak mencapai Rp893,8 triliun. Angka ini turun 7,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp970,2 triliun. Penerimaan pajak tersebut hanya mencapai 44,9% dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Sri Mulyani menyatakan bahwa penurunan penerimaan pajak disebabkan oleh anjloknya atau normalisasi harga-harga komoditas, yang berdampak pada menurunnya setoran Pajak Penghasilan (PPh) badan. Komoditas yang terpengaruh antara lain adalah harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) dan batu bara.
“Sisi penerimaan pajak sebesar Rp893,8 triliun, jika dilihat dari levelnya sebenarnya cukup sebanding, meskipun penerimaan dari sektor berbasis komoditas mengalami penurunan tajam. Seperti yang telah kami sampaikan, penurunan ini dipicu oleh turunnya harga CPO, batu bara, dan beberapa komoditas lainnya,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Senin (8/7/2024).
Untuk informasi, harga minyak dunia berfluktuasi dan cenderung meningkat. Kenaikan harga minyak ini memberikan tekanan pada peningkatan Belanja Negara, terutama dalam hal subsidi dan kompensasi energi.
Sementara itu, harga CPO dan batu bara lebih rendah dibandingkan tahun 2023. Penurunan harga ini memengaruhi kinerja perusahaan di sektor terkait. Akibatnya, hal ini juga berdampak pada penurunan penerimaan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Ketua Banggar, Said Abdullah, menyatakan bahwa pendapatan negara masih sangat rendah, yaitu Rp1.320,7 triliun, dengan penerimaan perpajakan yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Apakah Shortfall Terulang?
Rendahnya Penerimaan Pajak Idonesia hingga semester I, yang menyebabkan kontraksi, bisa membuat shortfall terulang. Sebagai perbandingan, realisasi penerimaan pajak hingga semester I-2023 tumbuh 9,9% dan sudah mencapai 56,5% dari target APBN 2023. Sedangkan pada semester I-2022, realisasi penerimaan pajak mencapai 55,8% dari target APBN 2022. Artinya, pada kedua tahun tersebut, pendapatan pajak sudah melampaui setengah dari target tahunan.
Kegagalan mencapai target Penerimaan Pajak Idonesia, hampir selalu terjadi setiap tahun. Dalam kurun waktu 2008-2023, atau selama 16 tahun terakhir, Penerimaan Pajak Idonesia hanya mencapai target pada 2008, 2021, 2022, dan 2023. Sisanya, selalu berada di bawah target. Shortfall ini terjadi karena target yang terlalu tinggi atau pertumbuhan pajak yang terlalu rendah.
Pendapatan pajak melampaui target pada tahun 2008 didukung oleh kebijakan sunset policy. Sementara itu, pencapaian 100% target pada tahun 2021-2023 disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk target yang lebih rendah pada tahun 2021 dan manfaat dari kenaikan harga komoditas akibat perang Rusia-Ukraina pada tahun anggaran 2022-2023.
Target dan realisasi penerimaan pajak
Source: Kementerian KeuanganCreated with Datawrapper
Target penerimaan pajak pada 2021 disesuaikan dengan penyesuaian tahun anggaran 2020 yang sangat rendah. Sebagai catatan, pemerintah merombak total APBN 2020 setelah pandemi Covid-19 menghantam dunia.
Penerimaan target pajak pada 2020 dipangkas dari Rp 1.642,6 triliun di APBN menjadi 1.198,8 triliun pada Perpres 72/2020.
Kendati target sudah dipasang, realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 89,3% atau Rp1.070 triliun sehingga dapat dikatakan bahwa pada 2020, Indonesia mengalami shortfall.
Hal ini terjadi mengingat pada 2020 terjadi pandemik Covid-19 yang mengganggu roda perekonomian Tanah Air. Alhasil perekonomian Indonesia cenderung tertahan dan sulit untuk tumbuh.
Pada saat semester I-2020, empat penyebab Penerimaan Pajak Idonesia mengalami kontraksi yakni karena adanya tekanan aktivitas usaha akibat pembatasan sosial pada kondisi pandemik Covid-19 berdampak pada kontraksi penerimaan pajak, dampak perlambatan ekonomi dan pemanfaatan insentif pajak terlihat pada pertumbuhan negatif pada hampir seluruh jenis penerimaan pajak, kontraksi juga terlihat pada setoran pajak dari sektor utama perekonomian sebagai dampak perlambatan ekonomi dan turunnya harga komoditas, dan insentif fiskal Covid-19 dalam rangka program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mulai dimanfaatkan dan juga adanya restitusi pajak yang dipercepat turut mempengaruhi rendahnya penerimaan pajak.
Namun demikian, pada 2021 hingga 2023 atau selama tiga tahun berturut-turut, penerimaan pajak mengalami kenaikan bahkan melebihi target perpres/APBN.
Penerimaan Pajak Idonesia mulai mengalami perbaikan seiring dengan mulai kembalinya aktivitas masyarakat pasca pandemik Covid-19.
Pada 2021, penerimaan pajak sebesar 103,9%, pada 2022 mengalami kenaikan menjadi 115,2%, dan pada 2023 kembali melampaui target menjadi 102,8%.
Lonjakan harga komoditas membuat Indonesia untung besar dari perolehan Pajak Penghasilan (PPh) hingga PPN. Kenaikan harga emas, batu bara, hingga CPO membuat perusahaan sawit mengalami lonjakan laba sehingga setoran PPh pun naik. Kenaikan harga komoditas juga menguntungkan jutaan warga yang menggantungkan hidup dari komoditas. Dengan kenaikan harga komoditas maka ada peningkatan konsumsi sehingga Pajak pertambahan Nilai (PPN) naik.
Outlook Penerimaan Pajak 2024
Kementerian Keuangan memproyeksi bahwa penerimaan pajak tahun ini kembali mengalami shortfall dengan perkiraan 96,6% terhadap APBN atau sebesar Rp1.921,9 triliun. Terdiri dari realisasi semester I-2024 sebesar Rp 893,8 triliun dan prognosa semester II-2024 Rp1.028,1 triliun.
Angka ini masih cenderung tumbuh 2,9% dibandingkan dengan penerimaan pajak 2023 sebesar Rp1.867,9 triliun.
Penerimaan pajak masih diperkirakan tumbuh mengingat perekonomian nasional cenderung terjaga baik serta efektivitas implementasi kebijakan dan pengawasan kepatuhan.
Oleh karena itu, penerimaan pajak pada semester II-2024 diperkirakan lebih tinggi dari semester I-2024.
Foto: Realisasi dan Prognosa Penerimaan Pajak 2024